Puas Enggak Ya Pasanganku? Kepuasaan seksual suami/istri tak perlu
diungkapkan dengan nyata, pun seharusnya pasangannya sudah tahu.
"Pasanganku
puas tidak ya? Habis, dia diam saja sih?" Kita mungkin sering
bertanya-tanya perihal kepuasaan yang diperoleh pasangan kita setelah
berintim-intim. Sebab, tak seperti di film-film Barat yang kadang
kepuasan itu diungkapkan secara nyata, secara verbal, maka di masyarakat
kita kepuasan ini kadang tak terungkapkan hingga tak heran bila kita
pun sering bertanya-tanya seperti itu.
Menurut dr Ferryal Loetan,
ASC&T, DSRM, MKes (MMR), sebenarnya sebagai suami-istri yang telah
berhubungan lama seharusnya kita tahu dengan sendirinya apakah pasangan
kita merasakan kepuasan atau tidak. Artinya, dari pengalaman, hal itu
bisa didapat walaupun mungkin tak diungkapkan secara verbal. "Karena
kepuasan sifatnya personal dan tak bisa dilihat secara fisik. Hanya bisa
dirasakan oleh orang itu sendiri, orang lain tak bisa tahu. Dia yang
bisa merasakan kalau yang ini kurang enak, tidak enak atau lebih enak.
Kalaupun orang lain mengetahui, lebih secara perasaan tahunya."
Merasa
Puas jika Pasangan Puas Menurut konsultan seks dari RS Persahabatan,
Jakarta, ini sah-sah saja kalau kepuasan itu lantas diungkapkan dengan
verbal maupun tidak. "Kalau di Barat memang kepuasan itu mereka
ungkapkan. Caranya bisa macam-macam. Bisa dengan teriakan-teriakan,
eluhan, desahan, maupun gerakan yang vulgar kala berhubungan intim."
Sebetulnya,
hal ini memang suatu yang bersifat alamiah. Banyak orang yang kalau
merasakan suatu kenikmatan tertentu secara tak sadar atau spontan akan
mengungkapkannya dengan teriakan, eluhan, desahan, dan lainnya itu.
Hanya saja, pada kita memang hal ini tak jadi budaya. "Mungkin karena
rasa malu atau ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran didengar orang
hingga kepuasaan itu umumnya tak dilampiaskan atau dikeluarkan secara
apa adanya, justru dipendam."
Dengan ungkapan kepuasaan secara
nyata, mudah bagi kita mengetahui kepuasan pasangan kita. "Tapi, itu pun
tak bisa jadi patokan karena bisa saja ungkapan itu dibuat-buat. Misal,
bila perempuannya seorang yang ahli atau profesional dalam berhubungan
seks, bisa saja dia buat-buat atau berpura-pura dengan berteriak dan
sebagainya seakan-akan mendapat kenikmatan. Nah, pasangan biasanya tak
akan tahu apakah itu betul-betul atau hanya berpura-pura." Dengan
melihat pasangannya puas, itu akan menjadi suatu kepuasan tersendiri
bagi pasangannya. Itu terjadi baik pada lelaki maupun wanita.
Perlu
Keterbukaan Ferryal mengakui ungkapan kepuasan pada setiap orang
berbeda-beda. "Mungkin ada yang mengungkapkannya dengan mengebu-gebu,
meledak-ledak, dan ada juga yang kalem-kalem saja." Tak ada patokan yang
pasti, apakah hal ini ada kaitannya dengan kepribadian orang tersebut
atau tidak. "Sebab, ada juga orang yang pendiam, tapi mengungkapkan
kepuasan seksnya dengan mengebu-gebu atau berisik. Karena itulah
dikatakan tak tentu dan tak bisa dijadikan patokan."
Yang jelas,
sebagai pasangan hidup, kita harus mengetahui secara pasti pasangan kita
seperti apa. Termasuk juga bagaimana kalau ia merasa puas atau tidak.
"Selain itu, untuk menjaga keharmonisan hubungan antarpasangan, perlu
keterbukaan. Pembicaraan mengenai seks yang bebas alias tak ada
batasannya. Bicara yang sevulgar apa pun tak masalah. Termasuk
puas-tidaknya hubungan seks mereka. Misal, 'Kayaknya kita bosan dengan
variasi seks yang ini, bagaimana kalau coba yang lain.' Dengan
dibicarakan, maka akhirnya terbuka bahwa pasangan kita tak puas dengan
hubungan seks yang itu-itu saja, hingga akhirnya bisa ketemu variasi
yang memuaskan dan bisa dinikmati bersama."
Selama ini yang
terjadi, paparnya, laki-lakilah yang paling sering mengungkapkan
kepuasannya. "Lebih banyak kaum perempuan yang tak pernah
mengungkapkannya. Maka itu, dari penelitian terakhir lebih dari 50
persen para istri di Indonesia tak pernah mencapai orgasme selama dia
menikah. Hal ini menunjukkan bahwa dia tak pernah mendapatkan
kepuasannya, kan?"
Kalau saja ada keterbukaan, tentunya hal
seperti ini tak bakalan terjadi. "Mungkin karena takut, malu atau karena
faktor budaya, maka wanita di kita kebanyakan cuma melayani suami,
memuaskan suami, sementara dia sendiri tak puas. 'Saya, sih, tak apa-apa
tak puas juga, yang penting, kan, suami. Toh, saya, kan, cuma melayani
dan memuaskan suami.' Ungkapan seperti ini, kan, yang banyak terdengar
di negara kita? Seakan-akan istri menganggap kalau dirinya tak perlu
puas juga tak apa. Akibatnya, dia sendiri tak menganggap bahwa kepuasan
seksual itu berhak untuk didapatnya."
Padahal, kepuasan seks bagi
pasangan berkeluarga merupakan hak untuk kedua pasangan, baik perempuan
maupun laki-laki. "Kalau dalam hubungan seksual tersebut pasangan tak
pernah mendapatkan kepuasan, maka dia berhak menuntut kepuasan itu."
Tentunya, bukan dengan cara ribut atau bertengkar, melainkan dengan
mencari jalan keluarnya. Nah, jalan keluarnya adalah keterbukaan di
antara pasangan. Begitu juga jika pasangan punya kekurangan, dibicarakan
dan dicarikan jalan keluar bersama. Misal, kalau ada gangguan atau
penyakit, maka dibicarakan untuk bersama-sama konsultasi ke ahlinya dan
mencari penyembuhan. Jadi bukannya diam-diam atau dipendam karena hal
itu justru bisa menimbulkan stres atau tekanan baru terhadap pasangan,
baik itu pihak laki-laki atau perempuan.
Ejakulasi Tak Berarti
Puncak Kepuasan Bagaimanapun, papar Ferryal, tujuan dari melakukan
kegiatan aplikasi seksual memang untuk mendapatkan kepuasan secara
seksual. Jadi, sebenarnya kepuasan seksual itu ada pada diri setiap
orang. "Hanya saja, bentuk kepuasan seks itu sangatlah tidak jelas."
Tapi
realisasinya, bentuk dari kepuasan pada laki-laki adalah terjadi
ejakulasi atau keluar air mani saat tahap klimaks dalam berhubungan
intim. Walaupun demikian, bukan berarti ejakulasi itu sendiri selalu
diikuti oleh kepuasan yang maksimal. "Bisa saja seorang laki-laki
ejakulasi, tapi tidak merasakan kepuasan yang maksimal. Misal, kalau ia
mengalami ejakulasi prematur. Dia ejakulasi, tapi ejakulasinya tak
diharapkan atau cepat keluar sehingga hasil yang didapatnya tak
maksimal."
Akibatnya, pasangannya tak terpuaskan atau tidak
merasakan kepuasan yang maksimal, hingga dari segi psikis si pria itu
pun akan mengalami suatu tekanan yang mengakibatkan kepuasannya makin
menurun rasanya. "Kalau dia dapat memuaskan pasangannya, maka dia pun
akan mendapatkan kepuasan yang maksimal." Menurut Ferryal, seorang
laki-laki bisa memuaskan pasangannya bila dia bisa mencapai waktu, yaitu
yang normal 7-9 menit.
Ketidakpuasan pria juga bisa disebabkan
dia impoten. Untuk impoten ini, juga banyak gradasinya, dari derajat
paling ringan sampai berat. "Yang ringan mungkin dengan dirangsang pakai
teknik-teknik tertentu masih bisa ereksi, tapi yang berat, dengan
diapa-apakan pun tak bisa 'bangun'".
Orgasme, Puncak Kepuasan
Sementara bentuk kepuasan pada perempuan adalah terjadi orgasme.
"Orgasme pada perempuan tak disertai ejakulasi karena dia tak punya air
mani. Hal ini perlu dipertegas karena banyak orang yang menganggap
wanita pun mengeluarkan mani atau ejakulasi. Ini tak benar," terang
Ferryal. Tak heran, banyak pertanyaan dari kaum perempuan, "Bentuk
orgasme pada perempuan itu seperti apa sih?"
Sebetulnya, orgasme
pada perempuan yang paling bagus dan sempurna yaitu bila dapat terjadi
bersama-sama. Artinya, bersama-sama secara fisik dan psikis atau
emosionalnya. Secara fisik, dia merasakan suatu getaran atau kekakuan
dari seluruh otot-otot tubuhnya yang secara mendadak atau tiba-tiba,
disertai pula dengan relaksasi yang mendadak. Sedangkan secara psikis,
dia mendapatkan kelegaan yang benar-benar lepas, tanpa suatu beban atau
ia mendapat kesenangan secara emosional. Kalau kedua faktor tersebut
terjadi bersamaan, dia bisa mencapai kepuasan maksimal. "Kalau salah
satunya tidak tercapai, dia bisa mendapatkan kepuasan tapi lebih rendah
mutu atau nikmatnya."
Yang jelas, papar Ferryal, puncak kepuasan,
baik pada lelaki maupun perempuan, bisa diibaratkan saat di mana mereka
seperti orang mati sesaat atau mati keenakan. "Karena saat itu mereka
tak merasakan apa-apa. Bahkan, kalau diapa-apakan pun saat itu mereka
tak bisa melakukan apa-apa. Saat itulah mereka mendapatkan puncak
kepuasannya." Nah, Bu-Pak, mulai bisa mengenali kepuasan pasangan, kan?
Bukan
Tipe Dingin Kalau pasangan kita tak pernah mengungkapkan kepuasan
seksnya, terang Ferryal, belum tentu dia termasuk tipe yang dingin.
"Mungkin karena budayanya memang demikian atau dia termasuk tipe
tertutup, hingga malu-malu karena dia tak terbiasa mengungkapkan
kepuasannya atau emosinya." Namun yang jelas, orang yang mengungkapkan
kepuasan dalam hubungan seksnya termasuk orang yang berani dan terbuka.
Penyebab
Ketidakpuasan Wanita Menurut Ferryal, banyak penyebab dari
ketidakpuasan perempuan, entah karena pasangannya tak mampu melakukan
pemanasan maupun tak mampu untuk waktu yang cukup hingga gagal dalam
memuaskan pasangannya. "Selain itu termasuk pula ada kelainan-kelainan
yang terjadi pada pasangan, semisal prematur ejakulasi atau impoten."
Sementara
kelainan yang banyak terjadi pada perempuan, seperti masalah
virgiditas, dingin, dan tak mampu membangkitkan gairah seksual, ada
ketakutan terhadap seksual, dan dyspareunia (vagina merasa nyeri atau
sakit setiap kali melakukan hubungan seks, meski secara fisik tak
apa-apa, tapi lebih karena faktor psikis yaitu ketakutan-ketakutan
seksual), menyebabkan si wanita tak mendapatkan kepuasan seks.
Sama
halnya dengan laki-laki yang impoten, virgiditas pada perempuan juga
gradasinya banyak, dari yang ringan sampai berat. Yang ringan, misal,
timbul kekejangan-kekejangan di sekitar alat kelaminnya. Sementara yang
berat, contoh, baru melihat suami masuk kamar dan buka baju saja,
istrinya langsung kejang-kejang, kakinya kaku, dan dia ketakutan. "Meski
hal seperti itu tak dia harapkan, tapi kekejangan itu terjadi secara
tiba-tiba."